Tikus yang tak selamat, Bunga Matahari yang mati

sun
4 min readMar 17, 2022

--

https://pin.it/5l3fbsS

Memangnya mas nggak sedih, kok nggak nangis?

Pertanyaan yang dilontarkan Istriku tadi siang seusai memakamkan adikku, masih berdengung di kepalaku sepanjang hari sampai Jemaah tahlil yang mendoakan Arif pulang.

Iya ya? Apa aku tidak sedih satu-satunya adikku telah meninggal dengan ganjil? Ibuku sampai pingsan, Ayahku sempat linglung dan tidak terima jika adikku meninggal. Padahal aku ingat betul, adikku yang paling sering dipukuli Ayah semasa hidupnya pakai sapu dan ikat pinggang. Maklum, Arif cenderung susah mengikuti perintah orang tua karena memiliki prinsip hidup sendiri. Jauh berbeda denganku yang tidak punya tujuan hidup dan menjalani apa yang dimau mereka, asal tidak disuruh merampok, membunuh, dan memerkosa saja.

Sedih sih sedih, tapi ya sudah. Sepertinya mau aku menyuarakan kesedihanku sampai Afrika, Arif tidak akan bisa bangkit dari kubur kembali. Tubuh kurusnya pasti tidak cukup kuat untuk mendobrak deretan kayu dan tanah yang sudah memendamnya satu setengah meter di bawah kami semua yang hidup berpijak. Apa lagi, aku sempat melihat Arif pada posisi yang ia pilih untuk mati. Tidak cukup wajar untuk adik yang mau dipukuli seperti apa oleh Ayah, ia akan tersenyum dan tertawa tidak lama kemudian. Membuatkan kami mi kuah soto dengan telur dan potongan cabai ketika di luar sedang turun hujan, mengajak kami semua makan sembari menonton saluran TV yang ia pilih, menayangkan film India.

Kalau mas sedih, nangis aja. Aku bukan perempuan yang akan mencelamu ketika mas ingin menangis.

Ujar Istriku setelah meletakkan makan malam di kamar Ayah dan Ibuku yang masih belum pulih menghadapi kematian Arif. Mereka masih di kamar, hanya aku, istriku, dan beberapa kerabat yang menginap yang menyambut para Jemaah tahlil untuk mendoakan kematian Arif. Entah doa kami selama satu jam akan diterima Tuhan atau tidak, sekalipun Arif meninggal dengan cara yang bertolak belakang. Tapi bukannya semua hal di dunia ini sudah takdir yang diberikan Tuhan? Jadi, apakah Tuhan memberikan takdir berupa Arif meninggal dengan gantung diri? Jadi, Arif berdosa besar karena Tuhan sendiri? Apa-apaan itu?

“Menurutmu, apa Arif bisa mencapai sisi Tuhan?” tanyaku pada sang Istri ketika kami hendak tidur.

“Tidak tahu. Gantung diri adalah dosa besar. Namun kita juga tidak tahu jika semasa hidup Arif, ia sudah melakukan banyak kebaikan melebihi pahala salatnya sendiri.”

“Aku bingung dengan cara kerja Tuhan.”

“Apa menurutmu, kamu saja yang bingung mas? Saya juga.” Kini ia mengubah posisi terlentangnya menghadapku, ia memeluk lenganku.

“Jika kamu bertanya apa saya tidak sedih? Saya sangat sedih karena Arif sudah tidak bernafas lagi. Jika kamu bertanya apa saya tidak ingin menangis? Maka saya kembalikan pertanyaanmu: Apa tangisan saya, dari air berganti darah, bisa membuat Arif hidup kembali ke keluarga ini?”

Istriku diam cukup lama. Tampak memikirkan jawaban tapi tak kunjung menemukannya seperti mencari kaos kaki yang ia cuci, setrika, dan ia simpan sendiri namun hilang ketika dibutuhkan. “Saya nyerah, nggak bisa jawab. Ayo kita tidur. Besok kita bersihin kamar kos-nya Arif. Barang kali kita menemukan alasan dia mati, atau setidaknya foto perempuan yang dia suka saat ini.”

Setelah sarapan, aku dan Istriku berangkat ke tempat kos Arif. Sejak diterima di Universitas Negeri kota ini, Arif memutuskan ingin menyewa kamar kos saja. Tidak tahan dipukuli Ayah, ujarnya dulu. Meskipun kami masih satu kota, tapi Arif ngotot. Untungnya, dia sudah punya tabungan dari ikut manggung teman-temannya menjadi drummer. Meskipun begitu Arif masih sering menginap di rumah ketika Ibu mengirimkan pesan rindu kepada anaknya yang paling akhir.

Kamar kosnya tidak besar. Baran-barang di dalamnya berhimpitan satu sama lain. Satu kasur tebal berhimpitan dengan lemari baju yang tingginya hanya setinggi sepeda BMX. Di sebelah utara, Arif malah menumpuk buku bacaan setinggi satu meter kali dua tumpukan bersandar pada dinding. Hany aitu furnitur yang dimiliki oleh Arif. Ditambah sampah bungkus makanan yang tergeletak di samping meja lipat masa kini sebagai wadah laptop di atasnya.

Mataku terhenti pada pot sedang dengan satu tangkai bunga matahari yang diletakkan di tepi jendela. Arif sangat suka dengan bunga matahari sampai ia bercita-cita memiliki kebun bunga matahari yang luas untuk dipelihara sampati mati. Sayangnya bunga itu merunduk sudah dan kelopaknya kuyu. Padahal pasokan cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar kosnya saat ini begitu banyak. Aku tidak tahu tumbuhan itu hampir mati, mungkin sudah dari kemarin-kemarin.

Istriku meminjam sapu dan alat pel untuk membersihkan kamarnya terlebih dahulu. Kami menyapu bungkus sisa makanan yang berupa kertas minyak yang sudah kusut, sampai styro foam dengan noda minyak kuah rendang masih ada di sini, tidak dibuang ke tong sampah yang ada di setiap depan pintu kamar. Aku mulai menurunkan buku-buku koleksinya yang ditumpuk menempel ke dinding. Terlalu banyak buku filsafat, sedangkan Arif sendiri sedang menjalani kuliah ilmu komputer.

Laptopnya mati, sepertinya karena dayanya belum diisi. Aku menutup laptop tersebut dan melipat meja lipat yang sering muncul di iklan Shopee. Istriku yang berdiri tidak jauh dari letak meja tadi, berteriak karena melihat bangkai tikus sebesar kepalan tangan tengah terbujur kaku di lantai. Aku mencari kantong plastic dan segera mengambil bangkai tikus dan segera membuangnya di tong sampah depan kamar.

Malang nian nasib tikus dan bunga matahari di kamar ini. Arif pasti sengaja tidak menyiram juga memberikan pupuk pada bunga Matahari di jendela, dan ia pasti sudah memberikan racun pada tikus tersebut. Maaf. Salahku menjadi saudara yang cukup pendiam untuk menaruh perhatian padamu. Aku seharusnya sering berkunjung kemari, sekalipun sudah beristri. Aku seharusnya sering menemanimu merokok atau minum minuman keras, hanya sekedar ingin mendengarkan apa yang sedang kau pikirkan atau yang sedang kau hadapi.

Maaf, karena tanpa sadar aku meninggalkanmu secara perlahan.

Kau pasti begitu kesepian. Sampai membunuh tumbuhan juga binatang untuk menemanimu setelah dirimu gantung diri. Bukan satu-satunya yang mati kemarin. Padahal kau selalu tersenyum di depanku, ternyata bukanlah jaminan jika kau sangat menikmati kehidupan yang diberikan Tuhan dengan syarat dan ketentuan yang begitu ketat ini.

Sekali lagi aku minta pengampunanmu, atau kau ingin ditemani di dunia yang tak bisa kulihat? Maka jemputlah kakakmu ini, aku tunggu.

--

--

No responses yet